Makalah Kebijakan Hukuman Mati Bagi Kejahatan Internasional
KEBIJAKAN
HUKUMAN MATI
BAGI
KEJAHATAN INTERNASIONAL
CUPLIKAN
KASUS HUKUMAN MATI
BAGI AMROZI DALAM KASUS BOM BALI 2002
Amrozi bin Nurhasyim (biasa dipanggil Amrozi; lahir di Lamongan, 5 Juli
1962 – meninggal di Nusa Kambangan, 9 November 2008 pada umur 46 tahun) adalah
seorang terpidana yang dihukum mati karena menjadi penggerak utama dalam
Peristiwa Bom Bali 2002. Ia berasal dari Jawa Timur.
Amrozi disebut-sebut termotivasi ideologi Islam radikal dan anti-Barat yang
didukung organisasi bawah tanah Jemaah Islamiyah. Pada 7 Agustus 2003, ia
dinyatakan oleh pengadilan bersalah atas tuduhan keterlibatan dalam peristiwa
pengeboman tersebut dan divonis hukuman mati. Namun undang-undang yang
digunakan untuk memvonisnya ternyata kemudian dinyatakan tidak berlaku oleh
Mahkamah Agung pada Juli 2004. Awalnya dipenjara di Lembaga Pemasyarakatan (LP)
Kerobokan di Denpasar, ia lalu dipindahkan ke LP Nusakambangan pada 11 Oktober
2005 bersama dengan Imam Samudra dan Mukhlas, dua pelaku Bom Bali lainnya. Sikap
Amrozi yang tampak tidak peduli sepanjang pengadilannya membuatnya sering
dijuluki media massa The Smiling Assassin (Pembunuh yang Tersenyum). Amrozi
dihukum mati pada hari Minggu, 9 November 2008 dini hari.
Walaupun vonis hukuman mati telah berlaku tetap semenjak 2003, pelaksanaan
hukuman tertunda berkali-kali karena tim pengacara mereka berusaha mengajukan
sejumlah keberatan. Pertama kali yang dilakukan adalah melakukan Peninjauan
Kembali (PK) atas kasus ini. Setelah ditolak pada tahun 2008 awal, kembali tim
pengacara mengajukan uji terhadap keputusan MA ke Mahkamah Konstitusi. Usaha
terakhir adalah dengan mengajukan uji terhadap pelaksanaan hukuman mati, karena
ketiga terpidana tidak menginginkan dihukum mati dengan ditembak, melainkan
dengan dihukum pancung sesuai syariat Islam. Usaha ini ditolak kembali oleh
Mahkamah Konstitusi. Sebelum pelaksanaan hukuman tim pengacara sempat
menyatakan akan membawa masalah ini ke Mahkamah Internasional.
Semula dinyatakan, pelaksanaan eksekusi dilakukan sebelum bulan Ramadan
tahun 2008, namun kemudian ditunda, diduga dengan alasan belas kasihan.
Pelaksanaan menjadi jelas sejak tanggal 5 Nopember 2008 setelah ketiganya
dipindah ke ruang pengamanan maksimum dan diberitahu bahwa paling lama dalam 3
kali 24 jam akan segera dieksekusi.
Dalam seluruh
proses mereka meminta agar mata mereka tidak ditutup. Tidak ada perlawanan yang
mereka lakukan. Iring iringan mobil mulai berangkat dari LP Batu, Nusa
Kambangan sejak pukul 23.15 WIB menuju lokasi eksekusi di bekas LP Nirbaya,
sekitar 6 km ke arah selatan Lapas Batu. Ketiganya dinyatakan meninggal sekitar
pukul 00.15 WIB.
PEMBAHASAN
1. Hukuman
Mati dan Pancasila Sebagai Etika dan Etika Politik
a.
Peran
Pemerintah terhadap kebijakan Hukuman Mati Amrozi dari sudut pandang Etika
Deantologi, Teleologi, dan Etika Keutamaan
v
Etika
Deantologi
Dalam
kasus ini pemerintah sudah menerapkan etika deantologi karena pemerintah sudah
melakukan kewajibannya seperti apa yang sudah tercantum didalam
Undan-Undang.karna di sudut pandang pemerintah adalah melindungi setiap Negara demokrasi harus tetap
menjalankan hukuman mati di atas pendasaran dan prinsip keadilan. Kewajiban
Negara di sini adalah Negara indonesia adalah melindungi seluruh nyawa
warganya. Ketika ada satu pihak (warga) menghilangkan nyawa pihak (warga) lain,
merupakan kewajiban negara untuk menyelesaikannya. Jika nyawa yang hilang,
penggantinya adalah nyawa juga. Ketika ada warga yang melenyapkan nyawa warga
lain, negara harus membalasnya dengan menerapkan hukuman mati.
Orang yang bersalah harus dihukum
menurut derajat kekeliruan yang dilakukannya. Itu adalah wujud rasional untuk
menegaskan prinsip keadilan bagi semua warga tanpa kecuali. Warga yang bersalah
karena membunuh, hukuman setimpalnya ialah negara menjalankan pembunuhan
terhadap warga yang telah menghilangkan nyawa warga lain. Ini adalah konsekuensi
yang harus di terima dalam suatu Negara yang berdaulat berdasarkan asas hokum
yang berlaku maka bagi siapa saja yan telah melakukan kesalahan berat maka
harus menerimanya demi terciptanya keadilan yang setimpal bagi setiap warga
negaranya.
v
Etika
Teleologi
Dalam etika Teleologi, perspektif
konsekuensialis atau teleologis. Perpektif etika itu bermula dari kalkulasi
utilitarian (kegunaan).dalam suatu Negara seperti Indonesia Hukuman mati tetap dipilih dan diaplikasikan negara
karena memiliki fungsi memberikan efek jera bagi warga lain. Bukan prinsip
saling berbalasan jika hukuman mati digulirkan, melainkan lebih pada
perhitungan hukuman itu dipandang efektif untuk menegakkan ketertiban sosial.
Jadi, seorang warga yang mendapatkan hukuman mati dimaksudkan supaya warga lain
tidak mengikuti perilaku serupa itu.
Prinsip dasar yang dipakai
perspektif utilitarian adalah kebahagiaan terbesar dari jumlah yang terbesar
(the greatest happines of the the greatest numbers). Apabila hukuman mati bisa
mendatangkan kebahagiaan bagi sebagian besar warga, hukuman dalam wujud
penghilangan nyawa itu tetap dapat diteruskan. Apalagi, jika dampak hukuman
tersebut diarahkan untuk mencegah terjadinya kekacauan sosial. Jumlah terbesar
warga yang mendapat kebahagiaan dari penerapan hukuman mati itu dinilai sesuai
dengan perhitungan demokrasi yang berkaca pada suara terbanyak warga.jadi
disini adalah melihat seberapa besar warga Negara agar di kehendaki melakukan
hukuman tersebut yang otomatis terlihat efek langsung kepada masyarakat agar
tidak melakukan hal yang sama apabila seorang warga Negara melakukan hal serupa
maka harus menerima konsekuensi yang telah di tetapkan.
v
Etika
Keutamaan
Teori
keutamaan (virtue) memandang sikap atau akhlak seseorang. Dalam etika ini
terdapat minat khusus untuk teori keutamaan sebagai reaksi atas teori – teori
etika sebelumnya yang terlalu berat sebelah dalam mengukur perbuatan dengan
prinsip atau norma.
Etika
keutamaan adalah memandang sikap atau akhlak seseorang. Tidak ditanyakan apakah
suatu perbuatan tertentu adil, atau jujur, atau murah hati dan sebagainya.
Keutamaan bisa didefinisikan sebagai berikut : disposisi watak yang telah
diperoleh seseorang dan memungkinkan dia untuk bertingkah laku baik secara
moral. Contoh keutamaan adalah kebijaksanaan, keadilan, suka bekerja keras, dan
hidup yang baik.
Jadi
peran pemerintah disini adalah untuk
membina suatu warga Negara yang telah melakukan kesalahan agar menjadi seseorang yang berahklak dan bermoral untuk
mengakui kesalahan yang di lakukannya tanpa mengubah keputusan hukum yang telah
di tetapkan atas tindakan yang di lakukannya.
b.
Peran
Masyarakat terhadap kebijakan Hukuman Mati Amrozi dari sudut pandang Etika
Deantologi, Teleologi, dan Etika Keutamaan
v
Etika
Deantoligi
Diliihat menurut teori Deantologi, peran masyarakat pada kebijakan hukuman mati terhadap kejahatan internasional pada kasus
hukuman mati Amrozi bin Nurhasyim, seorang
teroris yang menjadi
penggerak utama dalam pristiwa Bom Bali 2002 sudah sesuai dengan kewajiban masyarakat,
yaitu dengan banyaknya masyarakat yang membantu pemerintah (pasukan khusus teroris) dalam melakukan penangkapan
dengan memberikan informasi tentang para teroris yang bersembunyi
didaerah-daerah tertentu.
v
Etika
Teleologi
Beberapa individu yang mempunyai hubungan dengan para teroris (keluarga,
aliran/golongan yang sama) berfikir bahwa kebijakan ini tidak adil/kurang bijak, karena mereka beranggapan yang dilakukan para teroris itu adalah
bentuk dari jihad (memerangi kejahatan yang berupa kemaksiatan). Jadi bagi para
individu ini tidaklah salah karena para teroris hanya melakukan sebuah
kewajiban yang harus dilakukan, demi kepentingan yang menurut mereka baik.
Sebagian
besar masyarakat berfikir
bahwa kebijakan ini sangatlah perlu,
karena perbuatan terorisme sangatlah meresahkan
masyarakat. Selain itu terorisme telah merenggut banyak nyawa
manusia yang tidak berdosa. Dengan
adanya kebijakan hukuman mati akan membuat para pelaku terorisme jera, karena kalau tidak mereka akan memiliki semakin banyak kaki tangan yang bisa melanjutkan misinya.
v
Etika
Keutamaan
Dilihat
menurut teori keutamaan kebijakan hukuman mati ini sangatlah bagus. Karena
nantinya para pelaku terorisme dan juga kaki tangannya yang belum tertangkap
akan merasa jera untuk melakukan teror-teror lagi. Dimana pimpinana mereka,
yang dianggap sebagai tokoh sudah tidak ada lagi para pengikutnya akan kembali
kejalan kebeneran sesuai aturan.
2.
Hukuman Mati dan Pancasila Sebagai Sistem Filsafat
Pancasila
merupakan sekumpulan nilai-nilai yang dianut serta yang menjadi pedoman,
inspirasi, dan penerang jalan menuju tujuan negara. Karena itu Pancasila
memiliki fungsi kritis terhadap semua kebijakan publik yang diambil, baik dalam
bentuk peraturan perundang-undangan untuk menata ketertiban masyarakat, maupun
terhadap program-program sosial, ekonomi, dan budaya yang perlu untuk mencapai tujuan Negara. salah satu dari kebijakan itu adalah kebijakan hukuman
mati yang akan dibahas dalam dua sudut pandang nilai dasar pancasila sebagai
sebuah sistem filsafat, yaitu :
a.
Dasar
Ontologis Pancasila
Dasar ontologis menunjukan secara jelas bahwa pancasila
itu benar – benar ada dalam realitas dengan identitas dan entitas yang jelas.
Melalui tinjauan filsafat, karena pancasila itu adalah benar sehingga dikehendaki
sebagai ideologi dan dasar negara yang harus di dukung oleh manusia Indonesia
itu sendiri. Sebagai ideologi dan dasar negara pancasila mempunyai kedudukan
yang paling tinggi, konsekwensinya adalah segala penyelenggaran pemerintahan
dan penegakan hukum di Indonesia harus berdasarkan pancasila.
Hukuman
mati merupakan salah satu hukuman pokok yang diakui dalam sistem hukum pidana
Indonesia sampai saat ini, meskipun kontroversi mengenai keabsahannya dilihat
dari konstitusi dan dasar negara masih berlanjut. Sebagai konsekwensi logis dari Pancasila sebagai dasar
dan ideologi negara, Indonesia telah
secara menyeluruh memuat hak-hak asasi
manusia dalam UUD’45.
Kebijakan hukuman mati perluh dikaji untuk memilahkan
kasus mana yang harus diberlakukan hukuman mati itu, artinya tidak semua kasus
pembunuhan diterapkan kebijakan hukuman mati. Dalam konteks kasus Amrozi, kebijakan
yang diputuskan merupakan jawaban atas pemaknaan pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum yang menentang
terorisme di Indonesia yang seharusnya diberantas dari ibu pertiwi karena
sesungguhnya mengganggu keamanan dan ketertiban bangsa ini serta kenyamanan
hidup masyarakat indonesia pada umumnya. Hukum bukan jawaban atas “ Bukan ini
dan Bukan itu”.
b.
Dasar
Aksiologis Pancasila
Sejak
zaman dahulu sampai saat ini kita tahu adanya hukuman mati dengan cara
dirajam atau dilempari batu sampai mati, hukuman pancung leher,hukuman
gantung,hukuman mati di kursi listrik, hukuman mati di kamar zat
beracun,hukuman mati di hadapan regu tembak,dan yg terakhir hukuman mati dengan
suntik.
Seiring
dengan berjalannya waktu dan diiringi kemajuan teknologi (ilmu pengetahuan)
didunia, membuat eksekusi
mati lebih ‘mudah’ dan tidak menyiksa. Perkembangan hukuman mati dari tahun
ketahun tidak lepas dari peran filsafat khususnya AKSIOLOGI,yaitu nilai
kegunaan ilmu. Berkat kemajuan
ilmu khususnya IPTEK pemenuhan kebutuhan lebih cepat dan lebih mudah.
Sejak awal pertumbuhan ilmu
digunakan,tidak saja untuk menguasai alam, tetapi
juga untuk menguasai sesama manusia. contohnya
pada penemuan cara eksekusi hukuman mati yg dari tahun ke tahun semakin membaik dan lebih manusiawi. Hal yang sering terlupakan adalah FAKTOR MANUSIA itu
sendiri,yang menggunakan
ilmu pengetahuan yang dimiliki untuk menguasai orang lain bahkan merenggut
nyawa orang seperti Amrozi dalam kasus BOM BALI.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Hukuman mati merupakan salah satu hukuman pokok yang
diakui dalam sistem hukum pidana Indonesia sampai saat ini, meskipun
kontroversi mengenai keabsahannya dilihat dari konstitusi dan dasar negara
masih berlanjut. Sebagai konsekuensi
logis dari Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Indonesia telah secara menyeluruh memuat hak-hak asasi manusia dalam UUD’45.
Setiap keputusan hukum yang dibuat harus selalu mempertimbangkan dari segi
etika, baik itu etika deantologi, teleologi, dan etika keutamaan, hal ini
sangat membantu untuk menjaga keseimbagan dalam masyarakat yang sesungguhnya
meletakan kepentingan banyak orang diatas kepentingan pribadi atau kelompok
tertentu.
Pancasila dikatakan sebagai filsafat, karena Pancasila
merupakan hasil permenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh the faounding
father kita, yang dituangkan dalam suatu sistem (Ruslan Abdul Gani). Pancasila
sebagai filsafat mengandung pandangan, nilai, dan pemikiran yang dapat menjadi
substansi dan isi pembentukan ideologi Pancasila
2.
Saran
Indonesia
adalah negara hukum, cita – cita hukum telah ada sejak dahulu yang tercermin
dalam nilai dasar pancasila, untuk itu sebagai penegak hukum harus menegakan
hukum dan sebagai masyarakat harus mendukung hukum yang selalu berlandaskan
pada pancasila.
Komentar
Posting Komentar